A. SIKLUS HIDUP, KESEHATAN, DAN PERAN
SOSIAL
1.
Pengantar
Salah satu upaya
untuk menjelaskan persoalan-persoalan kesehatan manusia dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan siklus hidup.Dari siklus hidup ini,dapat dirinci
perkembangan psikologis dan sosiologi serta kebutuhan kesehatan individu
tersebut.
Asumsi yang dianut dalam wacana ini ,yaitu pertumbuhan dan
perkembangan individu akan maksimal serta potensi genetiknya akan berkembang
dengan baik jika kepadanya diberikan lingkungan berkualitas,baik dari gizi
maupun lingkungan sosialnya.Sehingga pada akhirnya dapat membangun pribadi
manusia yang sehat baik secara jasmaniah,emosi,spiritual,sosial,dan ekonomi.
Dari asumsi tersebut,dapat dirumuskan dan/atau telah
mengenai peran-peran sosial yang dikembangkan individu dalam setiap tahap
siklus kehidupannya masing-masing.Kalangan ilmuwan psikologi sudah berusaha
keras untuk menunjukkan tahap-tahap perkembangan dari setiap tugas perkembangan
(development task)psikologis.Berdasarkan temuan saat ini,ternyata dalam setiap
tahap perkembangan tersebut ,memiliki resiko kesehatan yang khusus dan peran
sosial yang berbeda antara tahap satu dengan tahap lainnya.Oleh karena itu
,memahami peran sosial dan kesehatan individu dapat dipantau dari perspektif
siklus hidup individu.
Pendekatan yang digunakan ini,dikembangkan dari model yang
dikembangkan oleh Departemen Kesehatan RI saat menjelaskan tentang kesehatan
reproduksi.Bila disederhanakan ,pendekatan siklus yang dikembangkan tersebut
dapat diformulasikan ulang sebagai berikut.
Siklus
Hidup Individu
2.
Masa Kehamilan
Kehamilan merupakan sesuatu hal yang
membahagiakan,penyebabnya karena mereka akan mendapatkan anggota baru dalam
sebuah keluarga.Oleh karena itu,kehamilan ini
kerap kali menjadi perhatian serius bagi anggota keluarga maupun
masyarakat.Ada beberapa aspek sosial yang terkait dengan masa kehamilan ini.
Pertama,peran kehamilan dapat dimaknai sebagai peran awal
perekat sosial.Dalam penelitian Evi (2005) menyebutkan bahwa perempuan yang
cenderung infertile, terancam diceraikan . Oleh karena itu,kehamilan atau lebih
khusus lagi kehadiran anak merupakan perekat sosial dalam sebuah masyarakat.
Kedua,tingginya harapan (ekspektasi)suami atau anggota
keluarga terhadap bayi yang ada dalam kandungan,menyebabkan tingginya(malahan
berlebihannya)perlakuan anggota keluarga terhadap ibu hamil.Oleh karena
itu,seorang ibu hamil diposisikan setara dengan orang “sakit’’ , sehongga peran
sosialnya dihapuskan dari tanggung jawab si ibu hamil. Sejalan dengan hal
ini,meminjam pandangan parson yang mengatakan bahwa peran pasien itu adalah
dibebaskan dari tugas-tugas sosial. Akibat dari kondisi seperti ini,ibu hamil
mendapat keistimewaan-keistimewaan khusus, baik dari sisi pemanjaan diri ,
kewajiban sosial , makanan ,dan pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Ketiga,dalam konteks ini “ngidam”merupakan “instrumen khusus
”yang menjadi alat ukur dalam membangun kewajiban baru orang lain untuk
memosisikan ibu hamil sebagai “ ratu dalam kehidupan “.Ketika istrinya ngidam ,
seorang suami akan berusaha keras untuk memenuhi keinginannya. Kendati pun
harus mendapatkan makanan misalnya istri menginginkan makanan yang agak aneh
dan sulit padahal waktu itu adalah malam hari, sang suami akan berusaha untuk
memenuhinya –perilaku suami tersebut , merupakan perilaku hamil dari sang
istri.
Keempat, ada yang berpendapat bahwa bila seorang ibu hamil
memiliki kebutuhan makan yang lebih,karena dia mengomsumsi makan untuk dua
orang. Sudah tentu, pernyataan ini tepat , Tetapi , reaksi sosial dari
kebutuhan ini , banyak ibu hamil yang mewujudkannya dalam bentuk ngemil.
Padahal ngemil dengan kebutuhan makan yang cukup adalah berbeda.Artinya ,
seorang ibu hamil tidak mesti ngemil . Sepanjang kebutuhan asupan gizinya cukup
, maka ngemil pun menjadi tidak diperlukan .
Adapun masalah kesehatan yang spesifik dari ibu hamil
diantaranya (a) mendapatkan pelayanan antenatal dengan baik dan teratur , (b)
memperoleh makanan bergizi dan cukup istirahat , (c) mendapatkan
ketenangan dan kebahagiaan , (d)
memperoleh persediaan biaya persalinan dan rujukan kerumah sakit bila terjadi
komplikasi.
Seringnya terjadi kematian pada saat persalinan , lebih
banyak disebabkan karena tingginya perdarahan . Selain itu , ada juga penyebab
lain yang bisa menimbulkan kematian pada ibu hamil, yaitu adanya 4 terlalu ( terlalu muda , terlalu tua , terlalu sering
, dan terlalu banyak ). Kondisi inikemudian didukung oleh adanya 3
terlambat ( terlambat mengenali
tanda-tanda , terlambat mencapai fasilitas kesehatan , dan terlambat mendapat pertolongan.
Faktor-faktor tersebut (4 terlalu dan 3 terlambat )
merupakan masalah sosial yang turut menentukan kesehatan proses persalinan
seseorang ibu hamil. Untuk menggenapkan pengetahuan ini, ada beberapa pesan
pendukung yang dapat membantu kehamilan dan persalinan yang aman , yaitu:
·
Mengenal
tanda-tanda bahaya pada kehamilan dan persalinan serta mempunyai rencana pendanaan untuk mendapatkan pertolongan
segera oleh dokter atau bidang medis apabila terjadi masalah.
·
Semua
ibu hamil harus memeriksakan kehamilan
sedikitnya 4 kali dan melahirkan dengan pertolongan dokter atau bidan .
·
Penyakit
dan kematian ibu dan bayi dapat dikurangi jika ibu melahirkan dengan
pertolongan dokter atau bidan.
·
Perawatan
kesehatan ibu nifas dan bayi baru lahir merupakan cara terbaik untuk mencegah
terjadinya kematian pada ibu dan bayinya.
·
Semua
ibu hamil memerlukan makanan bergizi dan istirahat yang cukup.
·
Merokok,
minum alkohol , menggunakan narkoba dan bahan beracun lainnya berbahaya bagi
kesehatan ibu hamil dan anak kecil.
·
Kekerasan
fisik pada perempuan dan anak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
serius .kekerasan pada ibu hamil dapat membahayakan jiwa ibu dan bayi yang
dikandungan.
·
Anak
perempuan yang berpendidik an , sehat , dan memiliki pola makan yang baik pada
masa kanak-kanak dan remaja akan lebih sedikit memiliki masalah ketika ia hamil
dan melahirkan.
·
Setiap
perempuan mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas
terutama masa kehamilan , saat melahirkan , dan selama nifas.
3. Masa Balita
Dalam masa pertumbuhan , proses
tumbuh kembang anak anak balita (1-4 tahun ) dipengaruhi oleh proses
pertumbuhan semasa bayi , dan selanjutnya akan mempengaruhi proses tumbuh
kembang pada usia sekolah dasar (6-12 tahun ).
Pertama,
peran bayi adalah belajar mengenai
bahasa tubuh dan isyarat dari luar dirinya .Dalam tahap ini pula , seorang bayi
belajar mengenai peran ibu yang baik atau buruk melalui komunikasi fisiknya
dalam memberikan kepuasan atas kebutuhan dirinya.
Kedua,peran untuk diakui sebagai bagian
dari anggota masyarakat . Seorang bayi sangat membutuhkan setuhan halus anggota
keluarga dan perhatian yang saksama dari orang lain. Bahkan dalam kaitan dengan
masalah ini , orang yang secara intensif memberikan perlakuan yang baik
kepadanya akan dianggap sebagai teman terbaiknya atau untuk kemudian
dianggapnya sebagai orang tua.
Pada konteks inilah , orang tuanya
memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan pembedaan mengenai identitas dan
peran orang per orang yag ada disekitarnya. Dan apabila , khilaf terhadap
masalah ini , ada kemugkinan persepsi yang berkembang dalam sebagai orang tua ,
tanpa memedulikan apakah orang tersebut sebagai pembantu rumah tangga atau
kakak-kakaknya sendiri.Kasus ini menjelaskan bahwa intensitas komunikasi dan
interaksi memberikan pengaruh terhadap kualitas keterikatan seseorang dengan
orang lain.
Pada masa ini , ada beberapa masalah
kesehatan yang perlu diperhatikan misalnya ASI eksklusif dan penyapihan yang
layak , tumbuh kembang anak , pemberian makanan dengan gizi seimbang, imunisasi
dan manajemen terpadu balita sehat , pencegahan dan penanggulangan kekerasan ,
serta pendidikan dan kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan.
4.
Masa
Anak-anak
Tahap perkembangan selanjutnya , yaitu memasuki tahap
anak-anak . Pada masa ini , pendidikan sosial yang terjadi pada masa balita ,
memiliki peran nyata dalam pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.
Menurut Sulivan (1892-1949 ) hal yang penting diketahui
bahwa fase anak-anak ditandai dengan anak mulai dapat mengucapkan kata-kata
hingga timbulnya kebutuhan terhadap kawan bermain.
Peralihan dari fase bayi ke fase anak-anak dipengaruhi oleh
perkembangan bahasa yang memungkinkan penggabungan berbagai personifikasi yang
berbeda . Timbulnya persepsi tentang jenis kelamin , yaitu mengidentifikasi
diri sesuai dengan jenis kelamin dan peranannya yang telah ditentukan
masyarakat serta munculnya tugas perkembangan yang utama yaitu belajar
berkomunikasi . Ada beberapa peran sosial yang dimunculkan anak-anak dalam
kehidupan di masyarakat.
Pertama, dalam mengembangkan kepribadiannya
secara utuh setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan ruang main dan ekspresi
yang sesuai dengan dirinya. Ketiadaan akses untuk mendapatkan ruang main
seperti ini akan berpengaruh terhadap optimasi pertumbuhan dan perkembangan
anak dalam masyarakat.
Kedua,anak adalah tanda sosial dari
keluarga, khususnya ibu dan anak. Pertumbuhan dan perkembangan fisik dan sosial
anak , dibaca sebagai bagian dari peran nyata orang tua dalam memberikan
pelayanan kepada anak-anaknya . Seorang anak yang kurang gizi , sesungguhnya
menjadi bukti lemahnya peran orang tua dalam memberikan asupan yang seimbang
dan berkualitas.
Demikian pula, bila hadir seorang anak yang sehat dan cerdas
dapat menunjukkan diri sebagai tanda sosial bagi keluarganya . Inilah peran
anak dalam menunjukkan diri sebagai tanda sosial kepada masyarakat.
Ketiga, anak adalah kandidat dari pemegang
amanah harapan atau impian orang tuanya.Berbagai aktivitas orang tua , baik
yang terkait dengan masalah ekonomi maupun prestise hidup, diharapkan dapat ditindaklanjuti
oleh anak-anaknya.
Keempat, sebagaimana yang terjadi pada peran
bayi, kehadiran anak ini memperkuat nilai solidaritas dalam keluarga.Hubungan
suami-istri , akan semakin tinggi dan rekat bila didukung oleh kehadiran anak
yag “berkualitas”.
Kelima, memiliki nilai sosial yang tinggi ,
baik untuk nilai ekonomi maupun ilmu sosial .Kehadiran anak, bagi keluarga
merupakan tambahan tenaga kerja baru bagi keluarganya.
Sehubungan dengan ini , perlu diperhatikan pula beberapa
masalah kesehatan yang bisa hadir pada fase anak-anak misalnya kesulitan anak
untuk makan karena terobsesi ingin main, asupan gizi yang tidak seimbang ,
rentannya fisik anak terhadap berbagai penyakit seperti polio dan DBD, dan
ancaman keracunan makanan akibat dari kebiasaannya makan makanan di luar.
5. Masa
Remaja
Pada masa remaja ( adolescens ) , selain pertumbuhan yang
cepat (growth spurt), juga timbul
tanda-tanda seks sekunder , serta diakhiri dengan berhentinya pertumbuhan ,
Khususnya pada perempuan , masa ini merupakan masa persiapan utuk menjadi calon
ibu.Keberadaan gizi pada masa ini berpengaruh terhadap kehamilan mereka kelak
dan juga terhadap bayi yang akan dilahirkannya.
Aktivitas mereka pun mulai meningkat
, sehingga kebutuhan gizinya juga bertambah .Nafsu makan mereka umumnya baik.
Mereka sering mencari makanan tambahan atau jajan di luar waktu makan.
Masalahnya apabila jajanan itu
berkalori tinggi, kegemukan dengan segala akibatnya bisa terjadi .Maka di antaranya
mereka ada yang berusaha untuk mengurangi dampak negatif dari kegemukan atau
berusaha menghindari kegemukan . Beberapa masalah kesehatan yang dapat
berpengaruh terhadap kesehatan remaja termasuk kesehatan reproduksi kalangan
remaja adalah sebagai berukut:
·
Masalah
gizi, yang meliputi anemia atau kurang gizi dan pertumbuhan yang terhambat.
Khusus pada kalangan putri, bila pertumbuhan panggul sempit dapat berisiko pada
proses melahirkan bayi berat di kemudian hari.
·
Masalah
seks dan seksual , meliputi pengetahuan yang lengkap terhadap mitos dan
informasi berbagai hal tentang seks dan seksualitas, penyalahgunaan peran seks
dan seksualitas , serta penanganan kehamilan remaja.
·
Hal
yag tidak boleh dilupakan pula , ada munculnya aneka ragam pola atau gaya hidup
remaja. Gaya hidup ini , baik yang terkait dengan kesehatan reproduksi maupun
dengan pola konsumsi dapat berpengaruh tinggi terhadap masalah kesehatan
remaja.
Berdasarkan pertimbangan ini , masa
pembinaan kesehatan remaja menjadi sangat penting.Diantaranya melalui
pembekalan pengetahuan tentang pertumbuhan fisik , kejiwaan dan kematangan
remaja, pendidikan kesehatan reproduksi serta kewajibannya, pergaulan yang
sehat di kalangan remaja pendidikan tentang persiapan pranikah , serta
pendidikan mengenai kehamilan dan persalinan serta cara pencegahannya.
6.
Masa
Dewasa
Secara psikologis tahap perkembangan ini dikategorikan
sebagai tahap kematangan (maturity) ,dewasa
dalam arti pengembangan diri maupun dalam konteks sosial. Seiring dengan hal
ini , ada beberapa peran yang dikembangkan dalam masa dewasa.
Pertama, orang dewasa sudah memiliki tugas
dan kewajiban diri dalam membangun komunitas , baik dalam skala kecil (
keluarga) , pertemanan , maupun dalam konteks kemasyarakatan. Dengan tugas
seperti ini baik seorang perempuan maupun laki-laki., tampil percaya diri dalam
mengembangkan komunikasi social.
Kedua, dalam masyarakat timur, seorang yang
sudah dewasa sudah mulai memikirkan mengenai masa depan, baik masa depan
ekonomi maupun masa depan sosialnya. Bekerja dan mengumpulkan kekayaan adalah
salah satu upaya untuk menjaga keberlangsungan hidup dirinya. Sementara
mendapatkan keturunan merupakan usaha orang dewasa untuk menjaga
keberlangsungan dirinya dan kenyamanan dirinya di hari tua.
Ketiga,pada sisi kesehatan , masa ini
termasuk dalam kategori matang. Kendati demikian , pelu diperhatikan perkembangan kea rah
meno-andropause, penyakit degeneratif termasuk
rabun, gangguan mobilitas dan osteoporosis, serta perlu adanya deteksi
dini terhadap kanker rahim dan kanker prostat, yang akan muncul diakhir
penghujung usia dewasa.
Keempat, dalam sosiologi pada umumnya , telah
banyak dikenal bahwa pada masa dewasa ini merupakan masa perkawinan atau
berkeluarga . Fungsi keluarga menurut sosiologi yaitu (a) fungsi afeksi , yaitu
membangun dan mengembangkan nilai dan
norma masyarakat, (b) fungsi reproduksi , yaitu berfungsi untuk memiliki
keturunan , (c) fungsi sosialisasi, arinya keluarga menjadi lembaga belajar
pertama dan utama untuk bermasyarakat , (d) fungsi pengaturan seksual, artinya
bagi seorang yang sudah dewasa mereka mulai meyakini dan menunjukkan peran
seksualnya dihadapan orang lain , (e) fungsi penentuan status , artinya
dilingkungan keluarga ini setiap anak- khususnya-mendapat pembelajaran mengenai
status diri dan status sosial,(f) fungsi perlindungan , artinya dalam keluarga
ini ada upaya untuk membangun perlindungan antara satu dengan yang lainnya,(g)
fungsi ekonomis, artinya para anggota keluarga-khususnya orang tua- memiliki
peran sosial untuk memberikan layanan kebutuhan ekonomi kepada anggota
keluarganya.
7.
Masa Usia Lanjut
Menurut teori Penarikan Diri ( Disengagement Theory) , usia lanjut merupakan proses bergerak
secara perlahan dari individu untuk menarik diri dari pesan sosial atau dari
konteks sosial. Keadaan ini menyebabkan interaksi individu yang lanjut
usiamulai menurun , baik dari sisi kualitas maupun kuantitas . Pada usia
lanjut sekaligus terjadi triple loss,yaitu
(a) kehilangan peran (loss of role),
(b) hambatan kontak sosial (restriction
of contacts and relationships), dan (c) berkurangnya komitmen (reduced commitment to sosial mores and
values).
Menurut Hardywinoto dan Toni Setiabudhi (2005:112) tidak
semua lanjut usia mengeluh macam –macam dan bila ada keluhan yang dikemukakan
individu lanjut usia, perlu diinterprestasikan secara berbeda. Karena setiap
keluhan tersebut , kendatipun memiliki masalah penyakit yang sama , namun akan
muncul secara berbeda bergantung pada kematangan pribadi dan situasi sosial
ekonomi lanjut usia masing-masing.Untuk merinci ulang , peran individu usia
lanjut ini dapat ditemukan dalam beberapa hal sosial berikut.
Pertama,menjadi lanjut usia memiliki hak
untuk menarik diri dari peran-peran sosial.Kewajiban sosial seperti bekerja,
bergaul di masyarakat , partisipasi pembangunan merupakan beberapa contoh nyata
yang kemudian dilepaskan peran dirinya.
Kedua,memunculkan peran orang lain untuk
menunjukkan peran dan kepeduliannya terhadap individu usia lanjut. Kendatipun
masih kontroversi, namun sikap dan peran orang lain terhadap lanjut usia ini
berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Bagi Negara Barat,
mereka lebih banyak mengambil sikap untuk memindahkan peran perhatian kepada
lanjut usia kepada pihak ketiga (pemerintah atau lembaga sosial), sedangkan di
lingkungan masyarakat Timur(misalnya Indonesia) pemeliharaan orang lanjut usia
itu menjadi kewajiban anak-cucunya.
Ketiga,setelah menginjakkan diri pada usia
lanjut , seorang individu akan memulai untuk melepaskan hak dan kepemilikannya
terhadap berbagai sumber produksi. Hukum waris merupakan hokum pemindah hak
secara menyeluruh dari orang lanjut usia (menjelang kematian) kepada generasi
berikutnya.
Implikasi dari transisi penyerahan hak dan kepemilikan ini,
menyebabkan lahirnya kewajiban “calon penerima” kepemilikan sumber produksi(
harta) individu lanjut usia untuk memberikan kewajiban pemeliharaan kepada
dirinya. Artinya , selama masih hodup ini, seorang anak cucu yang akan
mendapatkan hak waris sesungguhnya memiliki kewajiban untuk memelihara
kesehatan individu lanjut usia, baik dari sisi kesehatan jasmaniah, maupun
emosi dan spiritualnya.
Masalah kesehatan lanjut usia , ada dua pandangan yang
berbeda dalam menjelaskan fenomena yang sama, yaitu lingkaran kehidupan negatif
(negative life cycle) dan lingkaran
kehidupan positif (positive life cycle).
Gambar 13. 2
Lingkaran Kehidupan Negatif
(Sumber :
Hardywinoto dan Tony Setiabudhi, 2005 hlm. 125)
Dalam sudut pandang negative life
cycle, individu lanjut usia dipersepsi sebagai individu yang mengalami
pengurangan ketahanan fisik, mental dan peran sosial. Dan kemudian anggota
keluarga atau masyarakat mencapnya sebagai individu yang sudah memasuki masa
kurang produktif dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang lain.
Pandangan ini berbeda dengan sudut
pandang positive life cycle yang melihat fase lanjut usia sebagai kelanjutan
dari peran sosial masyarakat di masyarakat. Dalam lingkaran kehidupan positif,
misi utamanya adalah mempertahankan keutuhan dan kesatuan pada lanjut usia.
Oleh karena itu, upaya intervensi baik dari sisi medis, sosial medis, sosial, dan
pendidikan menjadi sangat penting bagi individu lanjut usia.
Masalah kesehatan reproduksi pada
usia lanjut terutama dirasakan oleh wanita ketika masa usia suburnya berakhir
atau ketika mengalami menopause dan kalangan pria pun mengalami ancaman
andropause. Menopause adalah keadaan pada wanita yang mengalami penurunan
fungsi indung telur, yang berakibat menurunnya produksi hormone estrogen.
Keadaan ini antara lain mengakibatkan terhentinya haid untuk selamanya. Usia
menopause wanita Indonesia sekitar usia 49 tahun (2000). Sementara andropause
adalah penurunan fungsi seksual dan kesuburan laki-laki yang sudah mencapai
usia lanjut dan kondisi ini mulai dirasakan oleh laki-laki Indonesia ketika
menginjakkan usia pada 55 tahun.
Gambar 13.2
Lingkaran Kehidupan Positif
(Sumber : Hardywinoto dan Tony Setiabudhi, 2005, hlm. 125)
8.
Masa Menjelang dan Setelah Kematian
Individu yang berada pada fase menjelang kematian (
sakaratul maut) sesungguhnya masih tetap sebagai anggota masyarakat dan bahkan
dalam konteks budaya, orang yang sudah meninggal dan dikuburkan pun masih
dianggap sebagai bagian dari anggota masyarakat dan berhak untuk mendapatkan
peran dan/atau hak sosialnya sendiri.
Pada sisi lain, Norma W.Rigth (2000:156) merinci ada 6 tahap
tanggapan seseorang ketika kehilangan orang yang dicintainya. Tahapan tersebut
yaitu (1) terguncang dan menangis, (2) merasa bersalah (3) memusuhi, misalnya
memusuhi dokter atau perawat yang tidak mampu menyelamatkannya, (4) melakukan
kegiatan dengan gelisah, (5) hilangnya makna-makna kegiatan yang biasa, dan (6)
mengidentifikasi diri denga orang yang meninggal, misalnya dengan memunculkan
keinginan utuk melanjutkan program dari orang yang meninggal. Granger Westberg
memperluas 6 tahap tersebut ke dalam 10 dukacita, yaitu guncangan, pelepasan
emosi, depresi dan kesepian, susah, gelisah, perasaan bersalah, perasaan
bermusuhan dan dendam, ketidakmampuan melakukan kegiatan yang lazim, harapan,
dan perjuangan untuk memperkokoh realitas.
Engel (1964) mengidentifikasi enam tingkatan berdua, yaitu
syok, tidak yakin, mengembangkan kesadaran diri, restitusi, mengatasi
kehidupan, idealisasi, dan hasil. Schulz (1978) membagi proses berduka ke dalam
tiga fase, yaitu fase awal, pertengahan, dan akhir
Dari
beberapa pandangan tersebut, dapat dikemukakan penjelasan yang lebih rinci
mengenai tahapan seseorang ketika mendekati ajal (kematian) bahwa terdapat
tahapan psikologis yang terjadi.
Pertama, penolakan terhadap kenyataan. Pasien
menolak informasi yang diberikan atau penyakit yang sedang diterima saat itu.
Penolakan ini ditujukan pula terhadap Tuhan yang dipersepsikan tidak adil
terhadap dirinya.
Kedua, mengalami depresi. Informasi dan
kenyataan yang diterimanya saat itu menyebabkan dirinya tertekan dan menarik
diri dari lingkungan sosial.
Ketiga, setelah adanya komunikasi dan
interaksi dengan berbagai pihak muncul sebuah kesadaran baru. Sumber dari
kesadaran ini, bisa berasal dari persepsinya mengenai ketidakmampuan diri dan
orang lain untuk menyembuhkan atau juga disebabkan karena adanya kesadaran
terhadap peran dirinya yang baru. Pada tahap ini, orang yang berada pada tahap
fase sakit keras akan berusaha untuk menjalin komunikasi dengan orang-orang di
sekitarnya. Permohonan maaf menjadi bagian nyata dalam budaya masyarakat Timur.
Keempat, dengan kesadaran yang penuh, orang
yang sedang sakit keras ini atau menjelang sakaratul maut ini akan memohon izin
untuk dilepaskan dari berbagai tanggung jawab sosialnya, baik yang menyangkut
masalah kekayaan atau keluarga dan peran sosialnya.
Kelima, setelah melakukan hal tersebut,
sampailah pada kerelaan diri untuk memutuskan tanggung jawab diri terhadap
diri, keluarga, dan masyarakatnya. Berdasarkan tahapan seperti ini, dapat
disimpulkan bahwa kematian merupakan fase pelepasan tanggung jawab diri
terhadap diri dan lingkungan sosialnya.
Bagi seseorang perawat atau tenaga medis dan juga anggota
keluarganya, memiliki kewajiban khusus dalam menghadapi kematian orang
tersebut.
Pertama, setiap orang yang akan ditinggalkan
perlu memberikan kerelaannya untuk melepas seluruh tanggung jawab sosial orang
yang tengah menghadapi kematian, termasuk melepaskan beban-beban hidup yang
lainnya.
Kedua, membantu kelancaran perjalanan
individu yang akan menempuh jalan hidup yang baru. Dari sisi agama (Islam)
seorang muslim-termasuk perawat atau dokter-dituntut untuk memberikan bimbingan
spiritual (talqin mayit) mejelang kematian seseorang.
Ketiga, mayat memiliki hak untuk mendapatkan
perawatan yang maksimal, dari mulai penghormatan, pemandian, peribadatan, dan
penguburan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dalam konteks nilai budaya,
orang yang sudah meninggal ini pun ternyata masih memiliki hak khusus dalam
kehidupan sosial. Misalnya saja, di tanah jawa terdapat tradisi “ sesajen”
untuk roh-roh nenek moyang atau para leluhurnya, yang diyakini masih hadir di
waktu-waktu tertentu untuk melihat kehidupan para keluarganya.
Bahkan, tradisi tahlilan, empat puluhan (patang puluh) dan
seratus hari ( ngatus) setelah kematian merupakan tradisi-tradisi lain yang
juga terkait dengan adanya hak orang meninggal untuk mendapat penghormatan dari
orang yang ditinggalkannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar